HUBUNGAN ANTARA PEREMPUAN DAN KEJAHATAN



A. Perempuan Sebagai Objek Kejahatan

Wanita sebagai objek kejahatan tidak lepas dari budaya patriarki. Budaya patriarki sendiri adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Beberapa masyarakat patriarkal juga patrilineal, yang berarti bahwa properti dan gelar diwariskan kepada keturunan laki-laki. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki serta menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi mereka tidak hanya mencakup ranah personal saja, melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain. Dalam ranah personal, budaya patriarki adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh laki-laki kepada perempuan. Atas dasar "hak istimewa" yang dimiliki laki-laki, mereka juga merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan.


a. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan

Menurut Sumarno penyebab kekerasan terhadap perempuan yang sering kita jumpai di lingkuangan masayarakat ada 7, yaitu :

1. Faktor ekonomi

2. Media sosial

3. Pernikahan usia dini

4. Kepribadian dan kondisi psikologis yang tidak stabil

5. Lingkungan

6. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat

7. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga turut ditutup karena merupakan masalah keluarga bukan masalah sosial.




b. Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia

Komnas Perempuan mencatat pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas. 

Temuan kasus kekerasan pun terjadi dalam beragam ranah mulai dari pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja migran perempuan. Pada 2017, laporan yang masuk ke Komnas Perempuan mencatat sebanyak 10 kasus kekerasan terharap PRT maupun pekerja migran. Sedangkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperlihatkan pada 2015 terdapat 18 kasus pelecehan seksual pada pekerja migran. Yang lebih mengkhawatirkan, data Balai Pelayanan Kepulangan TKI Selapajang Tangerang menyebut terdapat 11.343 kasus pelecehan seksual sepanjang 2008-2014. Dalam kesempatan serupa, komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menegaskan melihat fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan, ada urgensi akan kebutuhan payung hukum. Ia berkata, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera disahkan untuk melindungi kelompok rentan dari kekerasan seksual. 



B.  Perempuan Sebagai Subjek Kejahatan

Telah banyak usaha yang dilakukan kalangan kriminolog untuk mengkaji masalah kejahatan, dalam rangka menjelaskan kausa kejahatan (sebab sebab orang melakukan kejahatan). Usaha ini sesungguhnya telah mulai dirintis sejak abad pertengahan, meskipun pada periode ini belum dilakukan secara sistematis dan ilmiah (Sahetapy, 1981 : II). Usaha untuk menjelaskan kausa kejahatan sejak sebelum abad ke-18 sampai akhir abad ke-19, ternyata lebih menekankan kausa kejahatan oleh kaum pria. Teori-teori yang menjelaskan kausa kejahatan kurang memberi perhatian pada kausa kejahatan oleh kaum wanita. Karena ituiah, teori-teori yang berusaha mengungkapkan kausa kejahatan yang dilakukan oleh wanita baru mulai bermunculan pada dekade terakhir ini (Docherty, 1988 : 170). 

Teori-teori di masa lalu lebih menunjuk faktor pembawaan, biologis, atau genetika sebagai kausa wanita melakukan kejahatan (Docherty, 1988: 170; Abbot dan Wallace, 1990 : lSI). Namun teori yang lain menjelaskan bahwa ciri-ciri biologis dan psikologis yang khas merupakan basis untuk dapat menjelaskan latar belakang wanita melakukan kejahatan. Wanita memiliki ciri-ciri biologis dan psikologis yang berbeda dengan pria; dan karena itu boleh jadi menjadi sumber kecenderungan wanita melakukan kejahatan. Teori yang kini menjadi populer menyatakan bahwa semua wanita pada dasamya menjadi budak dari biologisnya, dan melakukan kajahatan, karena proses alami dari kondisi dan ciri-ciri biologisnya (Dochelty, 1988 : 172).

Dalam hubungan ini, Pollack, seperti dikutip Abbot dan Wallace (1990 : 159) dan Docherty (1988: 171), menegaskan bahwa pengaruh tahap-tahap generatif suatu kehamilan, menstruasi, dan menopause cenderung mendorong wanita melakukan kejahatan. Hal ini karena secara umum diakui bahwa ketika wanita hamil, menstruasi, atau memasuki menopause kerapkali dibarengi dengan gangguan-gangguan hormonal, yang menuntut pemenuhan kebutuhan dan kepuasan tertentu. Proses biologik yang menimbulkan ketakseimbangan hormonal cenderung mendorong wanita melakukan kejahatan. Karena itu, gangguan hormonal seorang wanita pada semua tingkatan usia, khususnya di lingkungan profesi kedokteran, ditengarai sebagai pendorong wanita melakukan kejahatan. Ini menunjukkan adanya kaitan langsung antara faktor fisiologi wanita dengan kejahatan. Selama periode menstruasi wanita cenderung mencoba bunuh diri, menganiaya anak, menyakiti atau bahkan membunuh suaminya sendiri, atau melakukan kejahatan yang lain. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami mengaku, terkejut melihat lonjakan narapidana perempuan di lembaga pemasyarakatan (lapas). "Saat ini total (napi perempuan) 13.569 orang. Dulu tidak sampai segitu. Dulu hanya sekitar 7.000-an pada 2014," ujar Sri saat ditemui usai acara lokakarya Hak dan Kesehatan Perempuan di Lapas, Jakarta, Kamis (3/5/2018).

Komentar